Pada era globalisasi ini, banyak bertebaran informasi di internet, baik yang kita temukan sendiri atau yang disebarkan oleh orang lain. Informasi ini bisa dari berbagai topik, misalnya seputar konspirasi, luar angkasa, bumi, kesehatan, dan yang sedang hangat adalah seputar Covid-19. Pasti di antara kita pernah merasakan atau mendapati salah satu dari informasi tadi. Ada berbagai motif yang menjadi latar belakang mengapa orang tersebut menyebarkan informasi tersebut, ada yang memang murni ingin memberi informasi tambahan dan ada juga yang hanya ingin menghasut atau memprovokasi. Bagi saya, motif di balik itu tidak terlalu penting dan tidak akan saya bahas karena apa pun motifnya yang terpenting adalah kredibilitas dari informasi yang disebarkan. Tidak dapat dimungkiri kalau banyak orang atau bahkan mungkin tanpa sadar kita sendiri langsung percaya atau menyebarkan informasi yang belum bisa dipastikan kebenarannya ini. Sebenarnya apa yang membuat orang percaya terhadap informasi-informasi seperti ini?

Mindset dan Sempitnya Pandangan
Mindset atau pola pikir adalah cara berpikir atau pandangan dan sikap kita dalam mengolah dan menghadapi sebuah informasi yang kita terima. Pola pikir setiap orang tentunya berbeda-beda dan tidak bisa disama-ratakan. Akan tetapi, pola pikir bisa diubah apabila orang tersebut mencari informasi lebih dan berpandangan luas, dalam artian tidak melulu mencari informasi dari sumber yang sama. Biasanya penyebar informasi palsu akan menyebarkan informasinya kepada orang yang memiliki mindset yang sama dengannya karena dengan itu informasinya akan langsung dipercaya dan menyebar dengan cepat. Ini bisa diperparah jika orang yang menerima informasinya tersebut memiliki pandangan yang sempit artinya dia tidak mau mencari sudut pandang lain untuk menambah referensi lain karena informasi yang dia terima sudah sesuai dengan persepsi dan mindset yang dia miliki. Maka dari itu, munculah istilah "orang hanya membaca/menonton sesuatu yang mereka inginkan bukan yang mereka butuhkan". Selain itu, kadang kondisi psikis orang yang menerima informasi pun bisa berpengaruh. Orang yang sedang dalam keadaan panik atau stres biasanya akan secara spontan langsung memercayai informasi yang diterimanya.
Gambar diambil dari akseleran.co.id
Pseudosains
Kita sering menemukan informasi yang berbau ilmiah di internet. Namun, kita perlu berhati-hati terhadap informasi tersebut. Jangan langsung percaya terhadap informasi tersebut meskipun itu terlihat meyakinkan dan ilmiah. Kita harus melihat sumber rujukan penelitian dan data-datanya. Sebab, faktanya pada era seperti ini banyak informasi berbau ilmiah yang padahal sebenarnya hanya mengada-ngada tanpa bukti dan penelitian secara ilmiah sama sekali. Misalnya, teori tentang flat earth, astrologi yang berhubungan dengan ramalan zodiak, dan yang terbaru adalah anti-vaksin. Dikutip dari warstek.com, Pseudosains adalah suatu istilah yang digunakan untuk merujuk pada suatu bidang yang menyerupai ilmu pengetahuan, tetapi sebenarnya bukan ilmu pengetahuan. Sesuatu yang menyerupai ilmu pengetahuan ini tidak valid dan memiliki banyak kekurangan, tidak rasional, dan cenderung dogmatis. Dengan kata lain, pseudosains adalah ilmu-palsu.
Ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang rasional dan perlu melalui tahapan metodologi ilmiah untuk memastikan kebenarannya. Ini tidak ditemukan pada informasi-informasi yang termasuk pada pseudosains yang cenderung mengada-ngada dan tidak memiliki bukti atau data secara ilmiah. Biasanya, orang-orang yang percaya dengan pseudosains akan mengandalkan dan menghubungkan berbagai macam hal yang membuat seolah-olah itu seperti sebuah kebetulan dan biasanya mereka memukul rata suatu hal.
Di sisi lain pseudosains juga bisa menjadi pemacu ilmu pengetahuan untuk berkembang dan juga sebagai alat kontrol atau alat uji. Berikut adalah pernyataan yang dikutip dari jurnal "Pembeda Sains dan Pseudo-Sains Bagi Lakatos (Lanjutan Pendapat Popper dan Kuhn)" yang ditulis oleh Yan Yan Sunarya (2009: 1):
" Karl Popper (1920) pernah mengajukan pendapat, bahwa suatu teori
disebut ilmiah bila sudah diuji (testable). Sebuah tesis, baru dianggap ilmiah bila
sudah dihadapkan pada berbagai pengujian yang mencoba menyangkal (falsifikasi)
kebenaran tesis tersebut. Apabila suatu tesis tetap bertahan terhadap penyangkalan
tersebut, kebenaran semakin kokoh. Semakin besar penyangkalan, semakin kokoh
kebenaran ilmiahnya sehingga Popper menyebutnya “the thesis of refutability”.
Untuk semua pernyataan ilmiah harus ada kemungkinan untuk dikritik, sebab hanya
melalui proses dialektis, ilmu pengetahuan akan maju. Karena itu, pengetahuan
yang salah pun mempunyai andil dalam proses kemajuan ilmu (Widagdo, 2005)".
Yang paling saya sesalkan terhadap orang-orang yang percaya pseudosains adalah ada beberapa di antara mereka yang ketika ditanya sumber rujukan dari informasi tersebut, mereka seringkali mengelak karena memang sumber yang mereka gunakan tidaklah valid dan hanya mengada-ada. Selain itu, ketika mereka diberikan sumber yang lebih valid dan terbukti secara ilmiah, sebagian di antara mereka tidak akan percaya dan justru malah mengolok-olok sang ilmuwan yang melakukan penelitian. Ini cukup disesalkan karena para ilmuwan telah menempuh berbagai tahap untuk memperoleh ilmu yang mereka dapatkan dan itu tidak mudah. Akan tetapi, para penganut pseudosains dengan mudahnya mencap para ilmuwan ini sebagai pembohong.
Gambar diambil dari id.wikipedia.org
Hoax
Dikutip dari merdeka.com, hoaks adalah informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya. Hoaks dan pseudosains memiliki esensi yang sama, yakni keduanya merupakan informasi palsu dan cenderung mengada-ada dan mungkin pseudosains ini bisa dikategorikan sebagai hoaks cabang sains. Hoaks sendiri banyak macamnya, tetapi hoaks yang paling sering muncul biasanya berkaitan dengan politik, ideologi, dan agama. Hoaks yang berkaitan dengan isu tersebut sangatlah berbahaya karena jika penerima hoaks tersebut langsung percaya maka akan terjadi perpecahan baik dala skala kecil maupun besar. Seperti yang sudah saya sebutkan, biasanya penyebar akan menyasar orang yang memiliki pandangan yang sama dengannya. Alhasil, hoaks tersebut akan mudah menyebar. Perpecahan skala nasional yang terjadi saat ini sangat dipengaruhi oleh hoaks-hoaks yang awalnya menyebar di lingkungan terdekat.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah melalui Kominfo sudah melakukan berbagai upaya keras untuk menghentikan transmisi hoaks ini. Akan tetapi, itu saja tidak akan cukup. Semuanya kembali lagi ke diri kita masing-masing yang menerima informasi. Hoaks banyak menyebar lewat internet dan internet merupakan salah satu unsur perubahan sosial yang bisa menjadi progresi atau regresi. Itu semua tergantung kepada kita sebagai orang yang menerima perubahan. Kita harus siap dengan perubahan tersebut supaya perubahan itu bisa menjadi progres bagi kita. Merujuk pada infokomputer.grid.id, dari total populasi Indonesia sebanyak 274,9 juta jiwa, pengguna aktif media sosialnya mencapai 170 juta. Mungkin, dari banyaknya pengguna sosial media di Indonesia tersebut, tidak semuanya siap untuk menggunakan sosial media.
Gambar diambil dari kominfo.go.id
Jadi, mari kita lebih berhati-hati dalam menerima dan mengolah informasi yang masuk. Persiapkan diri kita dalam menghadapai era globalisasi ini yang mana segala informasi bergerak dengan sangat cepat. Mari kita perbaiki masalah ini mulai dari diri kita masing-masing.
Kepustakaan
Sunarya, Yan Yan.
2009. Pembeda Sains dan Pseudo-Sains Bagi Lakatos (Lanjutan Pendapat Popper
dan Kuhn).1, https://www.researchgate.net/profile/Yan-Sunarya/publication/305882551_Pembeda_Sains_dan_Pseudo-Sains_Pembeda_Sains_dan_Pseudo-Sains_Bagi_Lakatos_Lanjutan_Pendapat_Popper_dan_Kuhn/data/57a46f1c08aefe6167ad795e/47-Yan-Yan-Sunarya-Pembeda-Sains-dan-Pseudo-Sains-Bagi-Lakatos-Lanjutan-Pendapat-Popper-dan-Kuhn.pdf.
6, diakses pada 6 Juli 2021.
Lararenjana, Edelweis. 2020.
"Mengenal Arti Hoax Atau Berita Bohong Dan Cara Tepat Menyikapinya". https://www.merdeka.com/jatim/mengenal-arti-hoax-atau-berita-bohong-dan-cara-tepat-menyikapinya-kln.html, diakses
pada 7 Juli 2021.
Cahya, Indra. 2020. "Hoax Dan Ilmu
Pengetahuan Palsu Yang Dipercaya Umat Manusia". https://www.merdeka.com/teknologi/7-hoax-dan-ilmu-pengetahuan-palsu-yang-dipercaya-umat-manusia.html?page=all, diakses
pada 6 Juli 2021.
Rizal, Adam. 2021. "Rata-Rata Orang
Indonesia Habiskan 3 Jam Untuk Main Media Sosial". https://infokomputer.grid.id/read/122572616/rata-rata-orang-indonesia-habiskan-3-jam-untuk-main-media-sosial, diakses
pada 7 Juli 2021.
Komentar
Posting Komentar