Tulisan untuk Membela Para Introvert

Kalian pasti sering banget mengasosiasikan kepribadian Introvert dengan pemalu, atau bahkan sombong. Aku awali dengan cerita dan keresahanku. Jadi pada suatu saat, aku pernah bekerja sebagai tester tes psikologi freelance di suatu perusahaan traktor di Yogyakarta. Saat itu, aku dan salah satu kolegaku ditugaskan untuk menghadiri jobfair  di salah satu SMK. Selain acara jobfair, di situ juga ada talkshow-nya tentang lingkungan pekerjaan kalau ga salah. Nah, salah satu narsumnya itu intinya jelasin tentang skill komunikasi di lingkungan kerja. Kemudian, ada yang tanya nih dari siswa, inget banget pertanyaan adalah "saya kebetulan introvert, bagaimana beradaptasi di lingkungan kerja?". Dijawablah oleh narasumber tersebut, cukup panjang jawabannya, tapi ada sepenggal kalimat yang aku sorot banget, yaitu ".... supaya kita bisa menghilangkan sifat introvert kita". Intinya, dalam jawaban narsum tersebut tersirat bahwa sifat introvert itu perlu dikurangi supaya skill komunikasi kita lebih baik. Mungkin ini terlihat remeh yaa, tapi menurutku ini mispersepsi yang umum di masyarakat kalau introvert = pemalu atau gabisa komunikasi/ngomong. Ga cuma di ceritaku tadi aja, tapi di sosmed juga persepsi ini masih umum banget. Nah, aku sebagai lulusan psikologi merasa punya tanggung jawab untuk meluruskan ini :D

Spektrum Big Five Personality. Gambar diambil dari simplypsychology.org/big-five-personality


Apa sih sebenernya Introvert itu?

Jadi gini cuy, introvert ini sebenernya kan salah satu dimensi dari kepribadian. Banyak teori di psikologi yang bisa jadi rujukan, tapi di sini aku pakai rujukan dari teori Big 5 Personality pada salah satu dimensinya, yaitu ekstraversi. FYI, teori Big 5 ini termasuk teori kepribadian yang udah kuat, stabil, dan relevan di lintas-budaya. Artinya, Big 5 ini bisa dipakai (hampir) di semua konteks budaya dan sosial (Schmitt dkk., 2007) (Daripada ngacu ke MBTI mending ke ini yaa kawan2 :D). Big 5 ini pencetusnya adalah Bapak McCrae dan Bapak Costa (sungkem pada Beliau2) yang terdiri dari lima dimensi, salah satunya ekstraveri (extraverssion), yang lainnya ada concientiousness, opennes, aggreeableness, dan neuroticissm, di artikel ini kita fokus ke ekstraversi aja yaa. Jadi, dimensi kepribadian ekstraversi ini ibaratnya seperti suatu spektrum, dari spektrum paling kiri (skor rendah) sampai paling kanan (skor tinggi). Nah, semakin tinggi skornya, semakin tinggilah tingkat ekstraversi kalian (atau bahasa umumnya ekstrovert) dan sebaliknya. Beberapa karakteristik tingkat ekstraversi tinggi misalnya mudah bergaul dan banyak bicara. Kalau rendah, McCrae dan Costa nyebut misalnya penyendiri, pendiam, dan serius. Skor ekstraversi yang rendah inilah yang orang-orang biasa sebut sebagai introvert. Tapi, perlu digarisbawahi yaa kalau sifat-sifat itu tidak mutlak, tapi berbasis pada sebarapa "skor" kalian pada dimensi ekstraversi, yang pasti kalau skornya ekstrem, mau tinggi atau rendah pun sepertinya ga begitu baik yaa (mungkin bisa mengarah ke gangguan kepribadian, tapi gak selalu) dan sangat jarang ada orang yang skornya ekstrem kiri atau kanan. Karakteristik ini juga mengarah ke preferensi orang untuk mengisi energi mereka. Orang-orang ekstrovert memiliki preferensi untuk bertemu orang lain, bersosialisasi, dan mengobrol untuk mengisi energi mereka. Sementara, Si Introvert lebih suka melakukan "me time" untuk mengisi energi mereka dan cenderung menghindari keramaian (Walker, 2020). Bukannya kami sombong yaa kawan-kawan, tapi kalau lama-lama ketemu orang tuh cape banget, personally, kepalaku suka pusing (literally) kalau lama-lama di keramaian hehe.

Introvert dan lack of social skill itu beda yaa

Hubungannya ke ceritaku di awal, introvert (rendahnya tingkat ekstraversi) itu lebih kepada kepribadian. Dalam psikologi, kepribadian itu bersifat stabil, artinya gaakan berubah (secara signifikan) di konteks mana pun. Memang, ada pengaruh dari budaya yang memandang "negatif" kepribadian introvert dan lebih menghargai ekstrovert. Itulah yang sebenarnya membuat orang-orang introvert ini jadi merasa rendah dan tertekan (Lawn, 2019) sehingga bisa berefek ke kepercayaan diri mereka dalam berkomunikasi. Kemudian juga, skill komunikasi itu tidak sama atau tidak melekat pada kepribadian ekstrovert. Kita perlu tau dulu definisi social skills (yang di dalamnya termasuk skill komunikasi). Social skills lebih kepada bagaimana seseorang dapat menyampaikan, menerima, memahami, dan memberi reaksi pesan verbal maupun non-verbal dari orang lain dengan tepat (Jurevičienė dkk., 2012). Jadi, bukan dinilai dari sebanyak apa kita mengeluarkan kata dari mulut kita, tapi sesuatu yang kita katakan itu efektif dan tepat, termasuk bagaimana kita bereaksi. Tapi yaa gabisa dimungkiri, di budaya kita ini, ada bias dan asumsi tertentu kalau orang yang talkative itu punya social skills yang lebih baik daripada introvert. Ini juga didukung oleh artikel dari Feiler dan Kleinbaum (2015) yang bilang kalau ada kecenderungan network extraversion bias. Sederhananya, karena orang ekstrovert ini suka ngumpul dan jadi terbentuk lingkaran pertemanan, ditambah lagi orang ekstrovert ini secara populasi lebih banyak, jadinya timbul stereotip kalau orang introvert itu gapunya temen karena mereka lebih suka menyendiri. Akhirnya, di masyarakat, orang yang punya banyak relasi dan temen adalah orang yang lebih disukai dan dianggap lebih baik. Orang introvert itu bukannya gapunya temen yaa (bahkan yang punya banyak temen pun banyak), tapi mereka ketemu tuh secukupnya aja dan biasanya gak sesering itu untuk nongkrong, soalnya kalau lama-lama mereka bakalan cape sendiri. 

Kesimpulan dan Saran

Udah jelas lah yaa kesimpulannya, intinya introvert itu bukan berarti gabisa komunikasi atau sombong. Sarannya, tolong para introvert ini jangan di-judge sombong, gapunya temen, dan lainnya.  


Referensi

Feiler, D. C., & Kleinbaum, A. M. (2015). Popularity, Similarity, and the Network Extraversion Bias. Psychological Science, 26(5), 593–603. https://doi.org/10.1177/0956797615569580

Jurevičienė, M., Kaffemanienė, I., & Ruškus, J. (2012) Concept and Structural Components of Social Skills, Baltic Journal of Sport and Health Sciences 86, 42-52.  DOI: 10.33607/bjshs.v3i86.266

Lawn, R. B., Slemp, G. R., & Vella-Brodrick, D. A. (2018). Quiet Flourishing: The Authenticity and Well-Being of Trait Introverts Living in the West Depends on Extraversion-Deficit Beliefs. Journal of Happiness Studies, 20(7), 2055–2075. https://doi.org/10.1007/s10902-018-0037-5

Schmitt, D. P., Allik, J., McCrae, R. R., & Benet-Martínez, V. (2007). The Geographic Distribution of Big Five Personality Traits. Journal of Cross-Cultural Psychology38(2), 173–212. https://doi.org/10.1177/0022022106297299

Walker, D. L. (2020). Extraversion – Introversion. The Wiley Encyclopedia of Personality and Individual Differences, 159–163. https://doi.org/10.1002/9781119547143.ch28



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia Semakin Bodoh: Pengaruh AI?

Menilik Stereotip pada K-popers dan Penyuka Jejepangan: Bagaimana Bisa Terjadi?