Gangguan Obsesif Kompulsif (OCD) dan Kaitannya dengan Pandemi
Manusia merupakan makhluk yang disertai akal pikiran. Akal pikiran tersebut membantu manusia dalam berperilaku dan berhadapan dengan segala hal yang ada di lingkungannya. Namun, terkadang muncul pemikiran yang berimplikasi kepada perilaku maladaptif pada sebagian orang. Pemikiran tersebut bisa jadi muncul tanpa alasan yang jelas. Jika pemikiran dan perilaku tersebut berlangsung secara berulang-ulang dan konsisten dalam taraf tententu, seseorang yang mengalaminya dapat dikategorikan berada dalam tingkat gangguan psikologis dan perlu bantuan tenaga profesional untuk mereduksi perilakunya. Apalagi, kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi dapat meningkatkan pemikiran dan perilaku maladaptif, salah satunya gangguan obsesif kompulsif.
Gangguan obsesif kompulsif merupakan salah satu gangguan psikologis yang paling umum di dunia. Menurut WHO, gangguan ini termasuk dalam sepuluh besar penyakit paling memiliki dampak besar pada pengidapnya (Praptomojati, 2019). Gangguan obsesif kompulsif tekategori dalam DSM-V (Gazzaniga dkk., 2016). DSM-V merupakan kategori penyakit mental yang pengidapnya memiliki pemikiran atau keinginan yang muncul dan sebenarnya tidak diinginkan dan tidak terkontrol oleh pengidapnya (Gazzaniga dkk., 2016). Sekitar satu hingga dua persen orang di dunia mengalami gangguan ini dan gangguan ini lebih banyak dialami oleh perempuan (Robins & Regier, 1991; Weissmann dkk., 1994; Gazzaniga dkk., 2016). Keberadaan penyakit virus corona pun berpotensi dapat meningkatkan intensitas perilaku obsesif dan kompulsif yang berhubungan dengan kebersihan dan kesehatan. Terlebih lagi, wujud virus yang tidak terlihat semakin membuat orang-orang khawatir dan keinginan untuk selalu memastikan kebersihan pun bertambah. Hal itu mungkin terdengar baik. Akan tetapi, kekhawatiran yang berlebihan akan memunculkan pemikiran maladaptif sehingga muncul kecemasan yang berujung pada perilaku obsesif dan kompulsif.
Gambar diambil dari Alodokter.com |
Gangguan Kecemasan
Gangguan kecemasan merupakan kekhawatiran akan terjadinya sesuatu yang buruk (Nevid dkk., 2005; Rahmawati 2019). Seseorang yang memiliki gangguan kecemasan akan merasakan sensasi seperti jantung berdebar dan ketegangan atau bahkan berkeringat karena ketakutan yang berlebihan terhadap suatu stimuli (Gazzaniga dkk., 2016). Gangguan ini merupakan salah satu penyakit yang cukup umum di masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Kessler dan Wang (dalam Gazzaniga dkk., 2016) menyebutkan bahwa satu dari empat orang Amerika Serikat pernah mengalami salah satu dari beberapa tipe gangguan kecemasan selama hidup mereka. Gangguan kecemasan yang parah dapat membuat pengidapnya mengalami tekanan darah yang meningkat, kekeringan mulut, detak jantung yang cepat, nafas yang dangkal, sakit kepala, dan masalah kesehatan yang berdampak pada fisik lainnya (Gazzaniga dkk., 2016). Gangguan kecemasan memiliki beberapa tipe, salah satunya adalah gangguan obsesif kompulsif.
Obsesif dan Kompulsif
Obsesif dan kompulsif merupakan dua hal yang berbeda, tetapi saling berkaitan. Obsesif merupakan pemikiran yang muncul pada seseorang atau stimulus yang bisa memicu distres. Pemikiran yang berujung pada kecemasan ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh pengidapnya dan tidak bisa dikendalikan (Gazzaniga dkk., 2016). Terkadang, orang yang mengalami obsesif sadar bahwa pemikiran yang ada pada mereka sebenarnya tidak beralasan dan berlebihan (American Psychiatric Association, 2020). Tipe dari obsesif ini pun ada beberapa macam. Orang dengan pemikiran obsesif biasanya akan melakukan perilaku kompulsif untuk mengurangi distres atau kekhawatiran yang dimilikinya. Namun, tindakan kompulsif yang dilakukan untuk mengurangi kecemasan akibat obsesi hanya efektif untuk sementara waktu dan jangka pendek (Gazzaniga dkk., 2016). Kompulsif adalah tindakan terhadap sesuatu secara berulang-ulang. Tindakan yang dilakukan bisa dilakukan secara berlebihan dan/atau bahkan tidak berhubungan dengan obsesi yang dimilikinya dan bisa memengaruhi aktivitas sehari-hari orang yang mengalaminya jika kasus yang dialami sudah cukup parah atau masuk ke tingkat gangguan (American Psychiatric Association, 2020).
Kaitannya dengan Pandemi
Salah satu tipe obsesif yang sangat relevan dengan kondisi pandemi Covid - 19 adalah ketakutan terhadap kontaminasi yang bisa ditimbulkan dari lingkungan atau orang lain. Sebenarnya, hal ini cukup beralasan mengingat waspada terhadap virus dan menjaga protokol kesehatan merupakan hal yang penting demi memutus rantai penyebaran virus. Namun, kekhawatiran yang berlebihan bisa berdampak pada mental dan fisik orang yang mengalaminya. Tindakan kompulsif yang relevan dengan pandemi adalah mencuci tangan, membersihkan benda, dan hal lain yang berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan secara berulang-ulang dan berlebihan.
Faktor Pemicu OCD
Ada sebuah bukti yang menyatakan bahwa gangguan obsesif kompulsif bisa disebabkan oleh faktor biologis, salah satunya genetik (Crowe, 2000; Gazzaniga dkk., 2016). Dengan berbagai metode perlakuan dalam peneltian, menunjukkan bahwa ada indikasi bahwa gangguan ini ada kaitannya dengan keluarga (Gazzaniga dkk., 2016). Memang, belum ada mekanisme yang spesifik tentang ini, tetapi gen gangguan obsesif kompulsif muncul untuk mengendalikan glutamat yang merupakan neurotransmitter eksitatoris di otak yang meningkatkan aktivitas saraf (Pauls, 20018; Gazzaniga dkk., 2016). Pencitraan otak yang dilakukan menunjukkan bukti bahwa sistem pada otak berpengaruh pada gangguan obsesif kompulsif, yakni caudate nuclei, salah satu bagian otak, yang berfungsi untuk menekan impuls ditemukan lebih kecil pada orang dengan gangguan obsesif kompulsif (Baxter, 2000; Gazzaniga dkk., 2016). Oleh karena itu, orang dengan gangguan obsesif kompulsif akan lebih mudah mengalami kecemasan yang berlebih. Disfungsi dari caudate nuclei ini bisa mengakibatkan impuls tidak terkendali (Gazzaniga dkk., 2016). Akibatnya, bagian prefrontal korteks yang mengatur perilaku kesadaran memerlukan usaha lebih untuk menyeimbangkan impuls yang tidak terkendali tadi (Whiteside dkk., 2004; Yucel dkk., 2007; Gazzaniga dkk., 2016). Selain caudate nuclei, bagian otak lain yang berperan dalam gangguan obsesif kompulsif adalah orbitofrontal korteks yang terdapat diatas area mata (Chamberlain dkk., 2005; Comer, 2010; Kwon dkk., 2009; Saxena & Rauch, 2000; Praptomojati 2019). Orbitofrontal korteks dan caudate nuclei pada orang dengan gangguan obsesif kompulsif sangat aktif sehingga terjadi kekacauan dalam pikiran dan terjadi perilaku maladaptif (Praptomojati, 2019). Ada bukti yang menyatakan bahwa gangguan ini dapat disebabkan pula oleh lingkungan, yakni infeksi dari bakteri streptococcus dapat menyebabkan gangguan obsesif kompulsif dalam bentuk yang cukup parah (Gazzaniga dkk., 2016).
Faktor dari lingkungan sosial pun bisa menjadi pemicu munculnya perilaku gangguan obsesif kompulsif. Hubungan dan komunikasi antara anak dan orang tua menjadi salah satu faktor. Orang tua yang terlalu protektif terhadap anaknya bisa mengarahkan anak tersebut pada gangguan obsesif kompulsif karena tekanan verbal dan nonverbal yang diterima oleh anak tersebut (Indardi, 2016). Tekanan yang terjadi bisa berupa ancaman, makian, atau kritik tajam (Royke, 2015; Indardi, 2016). Tekanan tersebut bisa berdampak secara psikis sehingga berimplikasi pada perilaku kecemasan yang ditunjukkan oleh pengidap gangguan obsesif kompulsif. Selain itu, hukuman fisik yang berlebihan dan tidak rasional semakin memperparah dampak pada anak. Oleh karena itu, komunikasi dan hubungan positif antara anak dan orang tua sangat penting untuk kesehatan mental anak, khususnya agar terhindar dari gangguan kecemasan, salah satunya gangguan obsesif kompulsif.
Dampak Gangguan Obsesif-Kompulsif
Jika tidak ditangani dengan cepat, gejala yang ditimbulkan dari gangguan ini bisa semakin parah dan menyebabkan gangguan mental yang lebih kronis, khususnya saat pengidapnya menghadapi situasi yang membuat kecemasan atau distresnya muncul (American Psychiatric Asscociation, 2013; Praptomojati, 2019). Kemudian, perilaku yang semakin parah ini akan mengganggu aktivitas fungsional sehari-hari karena terjadi berbagai bentuk perilaku maladaptif hasil dari obsesi dan kecemasan yang berlebihan (Dorfman & Walker, 2007; Leckman dkk., 2011, Praptomojati, 2019). Ini menjadi suatu titik terendah dalam hidup orang dengan gangguan obsesif kompulsif (Jahangard dkk., 2018; Remmerswaal dkk., 2016; Sahoo dkk., 2017; Stengler-Wenzke dkk., 2006; Vivan dkk., 2013; Praptomojati, 2019).
Orang dengan gangguan ini bisa mengalami penderitaan yang cukup panjang dan dampaknya bisa menyebar ke berbagai lingkup hidup pengidapnya, seperti sekolah, keluarga, pekerjaan, dan lain-lain (Praptomojati, 2019). Selain itu, dampaknya pun tidak hanya dirasakan oleh diri pengidapnya, tetapi juga bisa dirasakan oleh orang terdekatnya, seperti keluarga yang akan menjadi cukup terbebani (Grover & Dutt, 2011; Vikas dkk., 2011; Wu dkk., 2018; Praptomojati, 2019). Gangguan ini pun bisa berdampak kepada self-esteem pengidapnya (Bobes dkk., 2007; Hollander dkk., 1998; Koran, 2001; Schwartzman dkk., 2017; Praptomojati, 2019).
Penanganan
Gangguan obsesif kompulsif dapat direduksi oleh beberapa metode. Metode yang digunakan harus terbukti secara empiris untuk menghindari malpraktik. Salah satunya menggunakan obat-obatan. Namun, obat-obatan tradisional untuk kecemasan dianggap kurang efektif untuk menangani gangguan ini (Gazzaniga dkk., 2016). Di sisi lain, selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dan cognitive behavior therapy (CBT) cukup efektif untuk mereduksi gangguan ini (Gazzaniga dkk., 2016).
SSRI bekerja dengan cara menghambat daur ulang neurotransmitter serotonin sehingga bisa mereduksi kecemasan. Sementara itu, CBT dilakukan untuk mengubah dan menghilangkan pemikiran-pemikiran klien yang bisa memicu perilaku obsesif dan kompulsifnya. CBT dianggap lebih unggul dibanding obat-obatan karena lebih berdampak panjang dibanding obat-obatan untuk kecemasan lainnya dan merupakan metode yang paling efektif (Gazzaniga dkk., 2016). Selain itu, obat-obatan untuk kecemasan pun akan menimbulkan efek samping (efek samping berbeda setiap obatnya) dan kemungkinan gejala kecemasan kambuh lebih besar (Gazzaniga dkk., 2016).
Simpulan
Gangguan obsesif kompulsif merupakan salah satu tipe gangguan kecemasan yang mengakibatkan pengidapnya memiliki pemikiran yang tidak terkendali sehingga berujung pada kecemasan. Gangguan ini bisa dipicu oleh faktor sosial atau biologis. Faktor genetik dapat berperan dalam munculnya gangguan ini sehingga orang terdekat diharapkan dapat mengurangi potensi munculnya gangguan tersebut. Orang tua merupakan agen yang paling berperan dalam pencegahan gangguan ini. Komunikasi yang dibangun harus positif untuk menciptakan kondisi psikis yang sehat, terutama bagi anaknya. Pandemi yang belum kunjung usai pun menjadi salah satu tantangan yang harus bisa dilalui oleh orang dengan gangguan obsesif kompulsif karena kekhawatiran mereka tentu akan bertambah.
Kesadaran terhadap gangguan ini harus dibangun supaya orang yang mengidap gangguan ini bisa dapat ditolong sehingga gangguan yang dialaminya tidak semakin parah. Peran orang sekitar dalam kesembuhan cukup penting. Orang sekitar yang sadar bahwa ada orang yang membutuhkan bantuan dapat mengajak orang dengan gangguan ini ke tenaga profesional untuk mendapat perlakuan yang bisa mereduksi kecemasan dari gangguan ini. Namun, kembali lagi bahwa perlakuan dari tenaga professional dan lingkungan sosial harus seimbang untuk membantu kelancaran proses penyembuhan.
Referensi
What Is
Obsessive-Compulsive Disorder? (2020). American Psychiatric Association. Diakses
pada 11 November, 2021, dari https://www.psychiatry.org/patients-families/ocd/what-is-obsessive-compulsive-disorder
Indardi, Herdi. (2016). Proses komunikasi interpersonal yang dibangun
oleh orang tua kepada anak penyandang OCD (Obsessive Compulsive Disorder) Dalam
Tahap Penyembuhan. Jurnal E-Komunikasi, 4(2). http://publication.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/view/4828
Praptomojati, A. (2019). “How do i stop checking things?”
Understanding obsessive-compulsive disorder from neuropsychological perspective. Buletin
Psikologi, 27(1), 15. https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.32807
Meșterelu,
I., Rîmbu, R., Blaga, P., & Stefan, S. (2021). Obsessive-compulsive
symptoms and reactions to the Covid-19 pandemic. Psychiatry Research, 302,
114021. https://doi.org/10.1016/j.psychres.2021.114021
Mahmoudi,
A., Heshmati, R., & Alilou, M. M. (2020). Prediction of obsessive-compulsive
symptoms based on negative affect, rumination, and dispositional mindfulness. Journal
of Educational, Health and Community Psychology, 9(2). https://doi.org/10.12928/jehcp.v9i2.13028
Gazzaniga,
M. S., Halpern, D. F., & Heatherton, T. F. (2016). Psychological Science
(5th ed.). W.W. Norton, Incorporated.
Rahmawati,
Wibowo, B. Y., & Legiani, W. H. (2019). Studi deskriptif orang dengan obsessive
compulsive disorder dan hubungan interpersonal dalam keluarga. Prosiding
Seminar Nasional Pendidikan FKIP, 2, 694–7
Komentar
Posting Komentar