Memaknai Empirisme: Menilik Kemampuan Pencerapan Indrawi Manusia
Setiap
manusia memiliki cara yang berbeda dalam menangkap suatu ilmu pengetahuan.
Kemampuan manusia dalam menyerap, menganalisis, dan mengaplikasikannya di
kehidupan sehari-hari cenderung memiliki perbedaan yang nyata. Teori-teori
tentang sumber pengetahuan sebenarnya sudah dijelaskan secara gambling melalui
cabang filsafat yang populer: epistemologi. Epistemologi merupakan cabang
filsafat yang berusaha menjelaskan tentang bagaimana manusia memeroleh suatu
ilmu pengetahuan. Tetapi, sebelum mengetahui kiat-kiat apa yang dilakukan oleh
manusia demi mengetahui suatu pengetahuan, kita harus mengetahui apa itu
pengetahuan. Menurut Jan Hendrik Rapar, pengetahuan adalah sesuatu yang
diketahui oleh manusia. Misalnya: jika manusia menunjuk suatu objek berupa apel
dan dia mengetahui bahwa objek yang ditunjuk adalah apel, maka, itulah yang
disebut dengan pengetahuan. Kegiatan mengetahui sesuatu disebut dengan
pengetahuan[1].
Setelah
mengetahui apa itu pengetahuan, mari kita beranjak menuju pembahasan tentang
bagaimana manusia memeroleh suatu pengetahuann? Atau apa saja sumber-sumber
pengetahuan? Terdapat perdebatan yang tak kunjung selesai di antara para filsuf
dunia dalam memandang sumber-sumber pengetahuan. Filsuf seperti Plato, Descartes,
Leibniz, dan Spinoza memandang bahwa sumber pengetahuan adalah rasio.
Mereka bahkan menegaskan bahwa rasio adalah sumber utama pengetahuan.
Ingat, sumber utama. Mereka tidak mempertimbangkan aspek lain yang kemungkinan
menimbulkan pengetahuan di dalam diri manusia. Rasio bisa disebut juga
sebagai akal. Selanjutnya, para filsuf yang memuja akal ini berpandangan bahwa
sesuatu yang berseberangan dengan akal, sesuatu itu bukan pengetahuan. Lalu,
pandangan filsuf-filsuf tersebut dikenal sebagai aliran rasionalisme.
Tentu
saja, rasionalisme itu bukanlah suatu hal yang sakral seperti kitab suci.
Aliran ini bisa dikritisi ulang. Setelah rasionalisme menjadi aliran yang cukup
terkenal pada awal abad ke-17, terdapat
suatu gerakan pembaruan di Inggris yang berusaha menentang rasionalisme.
Gerakan yang diusung oleh John Locke ini berpandangan bahwa Plato, Descartes,
Leibniz, dan Spinoza telah melakukan klaim yang keliru. John Locke berpandangan
bahwa sumber utama pengetahuan bukanlah akal, melainkan pengalaman. John Locke
mengatakan bahwa akal manusia itu seperti kertas putih yang kemudian ditulis
oleh pengalaman. Pendapat John Locke itu kemudian dikenal sebagai aliran
Empirisme.[2]
Selama
beberapa hari, saya mencoba untuk menyelidiki bagaimana adik saya memeroleh
suatu pengetahuan, khususnya pengetahuan bahasa Inggris. Adik saya berumur
delapan tahun. Kemampuan berbahasa Inggrisnya di atas rata-rata. Ia jarang
menggunakan bahasa Indonesia kala bercakap-cakap dengan saya, ibu saya, dan
bapak saya. Bahkan, ia kesulitan ketika saya perintahkan ia untuk menerjemahkan
satu kata dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Ia laiknya kamus Oxford
yang mampu menelusuri persamaan kata dari suatu kata. Saya sempat kelimpungan
ketika mengobrol dengan adik saya. Hal itu juga yang memaksa saya untuk kembali
mempelajari bahasa Inggris.
Setelah
saya telusuri, ternyata adik saya memeroleh pengetahuan bahasa Inggris dari
kartun yang berbahasa Inggris. Memang, sejak kecil ia disuguhkan tayangan
kartun internasional oleh ibu dan bapak. Awalnya, tentu saja ia tidak mengerti
dengan bahasa yang ada di dalam kartun tersebut. Ia hanya duduk membisu kala
menonton tayangan kartun internasional. Sekali waktu saya bertanya kepada adik
saya. Mungkin ketika ia berumur dua tahun. “Ngerti, gak?”
Ia
hanya menampilkan sebersit senyum. Aku bingung. Mungkin ia mengerti. Atau
justru ia tidak mengerti. Pada waktu itu aku menyimpulkan bahwa ia tidak
mengerti. Berbicara pun ia masih terbata-bata. Mengeja kata “ibu” pun perlu
saya bantu.
Ketika
ia genap berumur empat tahun, ia menggemparkan seisi rumah. Ia fasih berbahasa
Inggris. Ia sama sekali melupakan bahasa Indonesia. Ada perasaan bangga yang
menghinggapi hati saya, ibu, dan bapak. Kami tidak percaya bahwa si bungsu bisa
melontarkan bahasa asing saat umurnya masih terlampau dini.
Lantas,
apa yang menyebabkan adik saya bisa berbicara dalam bahasa Inggris? Apakah itu
terjadi secara tiba-tiba? Apakah hal itu dapat disebut dengan mukjizat? Tentu
tidak!
Di
dalam artikel yang berjudul Kenali Gaya Belajar Anak: Auditori, Visual, atau
Kinestik dijelaskan beberapa gaya belajar anak untuk mendapatkan suatu
pengetahuan[3].
Saya menyimpulkan bahwa adik saya memeroleh pengetahuan dari mendengar.
Selanjutnya, artikel tersebut menjelaskan tentang gaya belajar anak yang
auditori. Auditori adalah salah satu gaya belajar anak di mana anak sering
mendengar cerita, lagu, atau suara-suara lain yang menimbulkan memori pada
otaknya. Memori bahasa yang ada di otaknya berupa kosa kata – dalam konteks
kasus ini adalah bahasa Inggris – ia secara tidak sadar akan mengucapkannya
kembali beberapa kosa kata yang telah didengarnya. Jika ia sering mendengar,
maka banyak kosa kata yang hinggap di benaknya. Adik saya lebih banyak
mendengar bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Maka, bahasa yag
diucapkannya sudah pasti bahasa Inggris.
Mendengar
adalah aktivitas utama bagi anak yang memiliki gaya belajar auditori. Anak
menggunakan telinga untuk mendengar. Kedua telinga mereka begitu tajam
menangkap setiap detail suara yang menciptakan memori yang matang di dalam
benak mereka. Kemudian memori-memori tersebut menerbitkan cahaya-cahaya
pengetahuan yang begitu bermanfaat bagi kehidupan si anak.
Seperti
yang kita ketahui sebelumnya, telinga merupakan bagian dari panca indra. Atau
dalam bahasa James E. Royce “indra-indra khusus”. Di dalam bukunya yang dikutip
oleh J.Sudarminta yang berjudul Man of His Nature, James E. Royce
menjelaskan bahwa indra-indra khusus tersebut memiliki organ penerimanya
masing-masing dan juga kualitas untuk mengolah informasi yang didapat yang
kemudian menghasilkan sebuah kesadaran.[4]
Sudah
jelas bahwa adik saya menggunakan telinganya untuk menyerap pengetahuan
bahasanya. Ia dengan telaten mendengarkan suara yang dihasilkan oleh tayangan
kartun internasional sehingga membuat dirinya fasih berbahasa Inggris. Kajian
epistemologi telah menjelaskan sebegitu rupa bagaimana manusia memeroleh suatu
pengetahuan. Adik saya merupakan penganut aliran yang diciptakan oleh John
Locke ini. Padahal, ia belum pernah membaca teori epistemologi.
Sebenarnya,
saya berusaha untuk mengenalkannya tentang epistemologi. Sebelum tidur saya
membaca buku Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan lantang-lantang.
Dengan tujuan agar teori epistemologi dapat melekat di dalam benaknya sejak
dini. Tetapi, hal itu adalah bentuk kesia-siaan. Ia menangis ketika mendengar
suara saya. Ia perlu suara yang indah. Bukan suara sembar yang diproduksi oleh
pita suara saya.
[1] Jan Hendrik Rapar, Pengantar
Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1995). Hlm. 37
[2] K.
Bertens, Johanis Ohoitimur, Mikhael Dua, Pengantar Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, ) hlm. 110-114
[3] Indah Fitrah Yani, Kenali Gaya
Belajar Anak: Auditori, Visual, atau Kinestetik. https://hellosehat.com/parenting/anak-6-sampai-9-tahun/perkembangan-anak/metode-pembelajaran-anak/ diakses pada tanggaj 27/05/2022
pukul 0:39
[4] J.Sudarminta, Epistemologi Dasar:
Pengantar Filsafat Pengetahuan. (Yogyakarta: Kanisius, 2002) hlm. 73
Komentar
Posting Komentar