Pendekatan Tradisi Kebudayaan dalam Kesehatan Mental

Budaya dalam Psikologi

    Budaya merupakan salah satu unsur di dalam masyarakat yang dapat berpengaruh pada perilaku. Seseorang mempelajari suatu budaya melalui sosialisasi. Agen-agen sosialisasi seperti keluarga, lingkungan terdekat, dan media menjadi pihak yang paling berpengaruh dalam adaptasi budaya. Budaya pun menjadi salah satu kajian ilmu dalam psikologi karena keterkaitannya dengan perilaku. Psikologi Budaya merupakan cabang kajian ilmu psikologi yang membahas tentang bagaimana suatu budaya berpengaruh pada proses mental dan psikologis manusia (Gazzaniga dkk., 2016). Budaya yang beragam tentunya akan menghasilkan sikap dan mental yang berbeda pula. Dengan adanya keberagaman tersebut, berbagai penelitian menunjukkan hasil temuan yang bervariasi dan tidak konsisten ketika dilakukan di lokasi dengan budaya yang berbeda-beda (Gazzaniga dkk., 2016). Salah satu temuan yang bervariasi tersebut adalah mengenai kesehatan mental. Komponen sosiodemografi, salah satunya budaya dapat mempengaruhi kesehatan mental (Idaiani dkk., 2010; Asdadsasda, 2011; Grace dkk., 2019). Beberapa gangguan mental dapat ditemukan di berbagai budaya yang berbeda, walaupun dengan variasi yang beragam (Gazzaniga dkk., 2016). Namun, gangguan yang berakar dari biologis memiliki variasi yang lebih sedikit. Budaya juga merupakan salah satu unsur yang dapat dimanfaatkan dalam pendekatan psikologi klinis. Budaya merupakan unsur dari natural help orientation dalam psikologi klinis. Di masyarakat yang masih berbudaya kental, seseorang yang mengalami gangguan mental biasanya akan diberikan perlakuan sesuai dengan kebiasaan budaya tersebut untuk menyembuhkan gangguan mentalnya. Setiap budaya tentunya memiliki kebiasaan yang berbeda dalam menyembuhkan gangguan mental dan mereka percaya bahwa kebiasaan mereka tersebut efektif. Namun, hal tersebut masih dipertanyakan keilmiahannya. Hal inilah yang menarik untuk dibahas mengenai apakah pendekatan budaya dalam penyembuhan gangguan mental benar-benar efektif dan terbukti secara ilmiah atau hanya sebuah sugesti sementara.  

Gambar diambil dari gaung


Konsep Kesehatan Mental dari Berbagai Budaya

    Masing-masing budaya memiliki cara tersendiri dalam mengelola gangguan mental. Pengelolaan gangguan mental dalam suatu budaya dipengaruhi adanya suatu nilai yang dianut oleh masyarakatnya. Biasanya nilai tersebut sudah ada sejak dahulu dan diturunkan secara turun-temurun. Dalam budaya tertentu adapula yang menganut kekuatan spiritual dan supranatural dalam penyembuhan gangguan mental. Sebagai contoh, masyarakat Biak Numfor memiliki konsepsi bahwa suatu penyakit menjadi penyebab adanya suatu ketidak- seimbangan dalam diri seseorang (Grace dkk., 2019). Penyakit tersebut dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai kekuatan gaib yang dikirimkan oleh orang lain dengan maksud tertentu (Wambrauw, 1994; Dumatubun, 2002; Grace, 2019). Contoh lainnya ada pada masyarakat Moi di Jayapura yang menganggap bahwa suatu penyakit terjadi ketidak kekuatan dari alam yang besar masuk ke dalam tubuh manusia yang tidak bisa dikontrol oleh orang tersebut (Wambrauw, 1994; Dumatubun, 2002; Grace, 2019). Orang Moi percaya bahwa kekuatan gaib berperan dalam kondisi kesehatan manusia.

    Adapula konsep kesehatan mental menurut masyarakat Minangkabau dan Jawa. Kesehatan mental menurut masyarakat Minangkabau adalah bagaimana seseorang dapat menyesuaikan diri dan bertahan hidup di suatu lingkungan, terutama lingkungan perantauan. Hal ini mencerminkan konsep keselarasan berdasarkan hukum perimbangan-pertentangan masyarakat Minangkabau (Muluk & Murniati, 2007). Orang Minangkabau dibebani ekspektasi untuk meraih kesuksesan sehingga mereka dituntut pula untuk memiliki daya juang dan jiwa kompetitif yang tinggi. Usaha yang mereka lakukan tersebut tentunya akan berbuah hasil. Hasil dari usaha mereka inilah yang nantinya akan menjadi suatu ukuran apakah mereka dapat menjalankan peran dan fungsi mereka sebagai masyarakat. Inilah yang menjadi konsepsi kesehatan mental bagi masyarakat Minangkabau. Sementara itu, masyarakat Jawa memiliki konsep Kebatinan terkait dengan kesehatan mental. Kebatinan merupakan suatu konsep spiritual yang menghubungkan jiwa manusia dengan alam semesta dan hal-hal gaib. Konsep ini menuntun seseorang untuk mencapai keseimbangan dan terhindar dari konflik-konflik yang akan diredam dengan laku batin (Muluk & Murniati, 2007). Kebatinan juga akan menuntun seseorang kepada kondisi manuggaling kawulo-gusti (suatu keadaan sempurna) yang mencerminkan kondisi sehat mental seseorang (Muluk & Murniati, 2007). Hal tersebut menjelaskan bahwa masyarakat Jawa lebih memiliki pendekatan keseimbangan duniawi dan spiritual untuk mencapai kesehatan mental yang optimal.

Gambar diambil dari kompasiana.com


Penglolaan Kesehatan Mental Melalui Perspektif Budaya

    Konsep kesehatan mental yang dimiliki oleh berbagai budaya sangat beragam. Pendekatan yang dilakukan pun berbeda-beda, seperti spiritual, kekuatan alam, peran dan fungsi sebagai manusia, dan lain-lain. Konsep yang beragam ini juga tentunya akan memiliki pengelolaan yang berbeda pula. Bagi seseorang yang memiliki latar belakang ilmu psikologi, tentunya memiliki terpai yang berlandaskan ilmiah. Namun, terapi tersebut belum tentu bisa sesuai dengan berbagai budaya. Terapi tersebut perlu pula menyisipkan prinsip indigenous supaya dapat diterima oleh kilen yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda.

    Masyarakat yang masih memegang erat budayanya akan memilih pendekatan sesuai dengan tradisi dari budaya mereka terlebih dahulu. Masyarakat yang memiliki kepercayaan terhadap kekuatan alam akan memilih untuk menghindari tempat tertentu yang dianggap sakral sebagai upaya untuk mengantisipasi masuknya kekuatan alam tersebut. Kemudian, mereka pun masih mengandalkan kekuatan gaib melalui dukun atau orang yang memiliki kemapuan serupa untuk mengeluarkan energi alam yang merasuki mereka (Grace dkk. 2019). Sementara itu, masyarakat yang erat dengan spiritualitas dan religiusitas memiliki pendekatan yang berbeda. Mereka akan membawa orang yang “sakit” kepada ahli spiritual atau pemuka agama. Terapi yang dilakukan adalah dengan memberikan nasihat atau petuah yang berlandaskan ayat-ayat atau literatur Kitab dari agama tersebut. Makna dari keyakinan agama dapat menjadi pondasi kesehatan mental (Gazzaniga dkk., 2016). Meskipun begitu, masing-masing pendekatan tersebut belum tentu dapat efektif bagi seriap individu.

    Kekuatan kekerabat yang masih erat pada masyarakat dengan budaya kental juga menjadi salah satu hal berpengaruh. Prinsip gemeinschaft yang masih kental berimplikasi pula kepada dukungan sosial yang diterima. Hal ini merupakan keunggulan tersendiri dibandingkan dengan masyarakat yang sudah tidak memegang erat budayanya. Dukungan sosial dapat berupa pemberian kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau ketersediaan bantuan kepada orang lain (Sarafino, 2011; Vania & Dewi, 2014). Dukungan dan integrasi sosial (materil dan moril) bisa menjadi pelindung bagi kesehatan mental (Gazzaniga dkk., 2016). Hal tersebut didukung pula oleh konsep biopsikososial dalam psikologi klinis yang menyatakan bahwa kesehatan mental seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal yang berperan antara lain keluarga, budaya, dan lingkungan terdekat lain (Gazzaniga dkk., 2016). Hal ini juga dijelaskan dalam teori ekologi Brofenbenner (1979) bahwa individu dipengaruhi oleh sistem mikro dan makro, seperti keluarga, sosial-politik, dan budaya (Sundberg dkk., 2002) 

Pendekatan Budaya dalam Perspektif Ilmiah

    Pendekatan budaya dalam mengatasi permasalahan kesehatan mental masih menjadi perdebatan. Landasan ilmiah dalam masing-masing pendekatan tersebut masih dipertanyakan sehingga keefektifan dari pendekatan budaya pun masih belum dapat dipastikan terutama pendekatan melalui energi gaib dan supranatural yang bertolak belakang dengan sains. Namun, tradisi yang sudah dilakukan bertahun-tahun tersebut nyatanya masih menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut. Apakah itu merupakan bukti bahwa pendekatan budaya tersebut efektif atau hanya sebatas menjalankan tradisi dan adat? Tidak dapat dimungkiri bagi Sebagian orang pendekatan budaya melalui ritual tertentu merupakan hal yang efektif. Namun, aspek mana yang lebih berpengaruh dalam pendekatan tersebut? Substansi dari ritual akan efektif bagi individu yang benar-benar menjiwai ritual tersebut. Makna dalam sebuah ritual dapat menjadi penyembuh bagi orang-orang yang benar-benar memaknainya meskipun masih sedikit penelitian mengenai keefektifan dari substansi ritual dalam suatu budaya terhadap penanganan gangguan mental secara langsung. Namun, kembali lagi, hal tersebut bergantung pada masingmasing individu. Unsur komunitas dari pendekatan suatu ritual dalam budaya justru memiliki peranan yang lebih besar dibandingkan dengan substansi dari ritual tersebut. Dari komunitas tersebut, terdapat faktor yang sangat penting untuk penanganan gangguan mental, yakni dukungan sosial. Komunitasi, baik agama, budaya, maupun komunitas lainnya dapat meningkatkan kesehatan mental individu yang tergabung dalam komunitas tersebut (Gazzaniga, 2016).

    Beragamnya pendekatan ritual dalam suatu budaya dan minimnya penelitian mengenai hal tersebut menjadi suatu titik terang bahwa sebenarnya strategi yang benar-benar tepat secara tradisi dan kebudayaan merupakan suatu hal yan semu (Grace dkk., 2019). Dalam ilmu sosiologi, masyarakat yang masih memegang tradisi budaya dalam menangami kesehatan mental masih dalam fase metafisik karena masih memegang hukum-hukum alam dan adat serta belum mengandalkan pengetahuan ilmiah. Sementara itu, landasan ilmiah merupakan suatu hal yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kesehatan, salah satunya psikologi. Namun, budaya sudah pasti menjadi salah satu faktor yang membentuk “warna” dari gejala-gejala gangguan mental. Dengan itu, psikolog atau psikiater harus dapat melakukan adaptasi dan menerapkan prinsip indigenous dalam penanganan klien yang memiliki latar belakang berbeda. Hal tersebut diperlukan untuk memperlancar proses komunikasi dan menghasilkan diagnosis serta penanganan yang akurat. 

Konklusi

    Budaya merupakan suatu unsur yang tidak terlepaskan dengan manusia. Budaya menjadi salah satu faktor yang membentuk perilaku manusia. Selain itu, budaya juga berfungsi dalam penyembuhan gangguan mental, baik melalui tradisi maupun pendekatan budaya dalam terapi klinis. Penyembuhan gangguan mental melalui tradisi budaya masih dipertanyakan landasan ilmiahnya karena masih minimnya penelitian dan tradisi yang beragam di berbagai macam kebudayaan. Namun, hal yang pasti adalah komunitas dalam budaya tersebut dapat menjadi sebuah agen yang menyokong dukungan sosial. Oleh karena itu, aspek yang sebenarnya paling berperan dalam penyembuhan melalui pendekatan tradisi budaya adalah dukungan sosial dari komunitasnya, bukan substansinya. Substansi dan makna dari sebuah tradisi hanya dapat berpengaruh pada orang-orang yang benar-benar menjiwai tradisi tersebut.

Referensi

Gazzaniga,      M.,       Heatherton,     T.,        &         Halpern,          D. (2016). Psychological science (5th ed.). W.    W.       Norton & Company Inc.

Grace, M., Nusawakan, A.W., & Soegijono, S.P. (2019). Kesehatan mental dan strategi koping dalam perspektif budaya: Sebuah studi sosiodemografi di Ambon. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah4(1). http://103.114.35.30/index.php/JKM/article/view/1941/1926

Lubis, N., Krisnani, H., & Fedryansyah, M. (2015). Pemahaman masyarakat mengenai gangguan jiwa dan keterbelakangan mental. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat2(3). https://doi.org/10.24198/jppm.v2i3.13588

Muluk, H., & Murniati, J. (2007). Konsep kesehatan mental menurut masyarakat etnik Jawa dan Minangkabau. Jurnal Konsep Sehat Mental13(2).

Manullang, C. M. G., Ranimpi, Y. Y., & Pilakoannu, R. T. (2020). Kesehatan mental dan strategi koping dalam perspektif budaya: Sebuah studi sosiodemografi di Kampung Aminweriri. Insight: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi16(1), 30. https://doi.org/10.32528/ins.v16i1.3167

Novianty, A., & Cuwandayani, L. (2018). Studi literatur kesehatan mental dan budaya. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper: Community Psychology Sebuah Kontribusi Psikologi Menuju Masyarakat Berd1(0), 108–128. http://jurnal.unmuhjember.ac.id/index.php/PROGI/article/view/Nov

Ruman, Y. S. (2021, Juli 6). Masyarakat menurut auguste comte. BINUS University Character Building. Diakses pada 8, 2022, dari https://binus.ac.id/character-building/2021/07/masyarakat-menurut-auguste-comte/

Sundberg, N.D., Winebarger, A.A., & Taplin, J. (2020). Clinical psychology: Evolving theory, practice, and research (4th ed.). Pearson.

Sarafino, E.P. & Smith, T.W. (2011). Health psychology: Biopsychosocial interactions (7th ed.). New York: John Wiley & Sons.

Vania, I.W., & Dewi, K.S. (2014). Hubungan antara dukungan sosial dengan psychological well-being caregiver penderita gangguan skizofrenia. Jurnal EMPATI3(4), 266–278. https://doi.org/10.14710/empati.2014.7580


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menilik Stereotip pada K-popers dan Penyuka Jejepangan: Bagaimana Bisa Terjadi?

Tulisan untuk Membela Para Introvert

Manusia Semakin Bodoh: Pengaruh AI?