Break The Stigma: Fobia Sosial; Mereka Bukan Sombong

    Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin kita pernah menemukan seseorang yang sangat menghindari kerumunan atau interaksi sosial. Dalam lingkungan kita, biasanya seseorang tersebut akan dianggap sebagai seorang yang pemalu. Bahkan, adapula yang menganggap orang itu sombong. Hal tersebut terkait dengan budaya kolektivis di Indonesia yang mengharuskan seseorang dapat menjalin relasi dengan orang lain. Padahal, bagi beberapa orang tertentu yang mengidap gangguan mental, terutama fobia sosial, hal tersebut menjadi suatu yang sangat sulit, bahkan menjadi sumber distress mereka yang mengidapnya. Fobia sosial merupakan salah satu cabang dari berbagai jenis fobia yang ada. Fobia merupakan salah satu jenis gangguan dalam dunia psikologi. Pengidap fobia akan merasakan ketakutan yang sangat kuat dan berulang-ulang terhadap sesuatu hal yang sebenarnya irasional jika dibandingkan dengan keadaan sebenarnya (Safaria, 2021). Lebih jelasnya, seseorang menakuti suatu hal yang sebenarnya hal tersebut tidak akan membahayakannya. Pikiran tersebut hanya ada di pikirannya. Misalnya, seseorang fobia terhadap ular maka ia akan menghindari segala hal yang mirip dengan ular, misalnya mie, tali, dan sebagainya (Safaria, 2021). Dari contoh tersebut, dapat diketahui bahwa Fobia dapat menjalar luas.  

    Fobia merupakan sesuatu hal yang berbeda dengan rasa takut. Keduanya memang terlihat serupa. Dapat dibilang, fobia merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari rasa takut. Rasa takut merupakan hal yang wajar dan umum serta seseorang yang mengalaminya tidak akan terhinggapi distress yang kuat. Rasa takut pun akan hilang ketika objek yang ditakutinya hilang. Selain itu, objek yang ditakuti pun jelas rupanya dan rasional. Itulah garis besar yang membedakan fobia dan takut. Fobia sudah dapat diklasifikasikan ke dalam gangguan. Sementara itu, takut merupakan sebuah arousal. Dapat dibilang pula, rasa takut merupakan salah satu unsur atau gejala dari Fobia. Gejala yang dialami oleh penderita Fobia dapat secara fisiologis dan psikis. Secara umum, gejala yang diderita dapat berupa sakit kepala, terasa seperti berputar-putar, depresi sedang, sakit perut, serta keraguan yang mendalam. Fobia secara khusus biasanya muncul pada usia remaja atau masa dewasa awal (Kendall, Hammen, & Constance, 1998; Carr, 2001; Safaria, 2021).

Fobia Sosial

    Ketika melakukan presentasi atau bertemu dengan orang baru, perasaan gugup atau cemas merupakan hal yang wajar dialami oleh seseorang. Namun, jika berlebihan tentunya akan cukup mengganggu kehidupan seseorang, terutama pada budaya kolektivis. Fobia Sosial (Ada juga yang menyebut social-anxiety) merupakan salah satu jenis gangguan fobia dan gangguan fobia itu sendiri terklasifikasikan ke dalam gangguan kecemasan. Fobia sosial berkaitan dengan adanya perilaku maladaptif dalam diri seseorang dalam relasi sosial. Seseorang yang mengalami Fobia Sosial akan takut  untuk menjalin relasi dengan orang lain. Mengapa? Pada dasarnya, mereka takut atau cemas atas penilaian orang lain terhadap dirinya sehingga mereka cenderung menghindari berelasi dengan orang lain. Mereka takut dengan evaluasi dari orang lain apakah jangan-jangan dirinya melakukan sesuatu yang memalukan atau suatu yang keliru sehingga memengaruhi asumsi orang lain yang menilai diri mereka. Seseorang yang mengalami gangguan ini biasanya akan memunculkan reaksi cemas atau takut yang ekstrem ketika menjalin interaksi dengan orang lain, terutama orang asing. Mungkin saja mereka tidak keberatan dalam situasi keramaian, tetapi mereka akan sangat keberatan dan cemas ketika orang lain menjalin interaksi sosial dengannya. Dilihat dari karakteristiknya, Fobia Sosial memiliki keterkaitan dengan Gangguan Kepribadian Menghindar (Avoidant Personality Disorder). Kedua penderita gangguan ini sama-sama cenderung menghindari situasi sosial yang memunculkan potensi terjadinya interkasi sosial.

Gambar diambil dari baliekbis.com

Penyebab Fobia Sosial

    Penyebab terjadinya Fobia Sosial (Gangguan kecemasan secara umum) dapat dijelaskan oleh berbagai perspektif, baik biologis maupun secara sosial. Perspektif yang pertama ialah teori yang menjelaskan bahwa gangguan ini dapat disebabkan oleh genetik. Pada Fobia, terdapat fakta bahwa individu biasanya hanya menunjukkan kecenderungan tersebut pada beberapa objek tertentu saja, misal tempat tertutup, ketinggian, hewan, atau sosial (Safaria, 2021). Dalam hal ini dapat berarti bahwa sebenarnya individu sudah secara alami disiapkan untuk takut terhadap objek tertentu. Perspektif yang kedua adalah adanya disfungsi gamma aminobityric acid (GABA) dalam sistem neuron. GABA berfungsi untuk menekan terjadinya arousal, termasuk kecemasan. Dengan adanya disfungsi pada GABA, hal yang berpotensi terjadi adalah kurang terkendalinya arousal tersebut sehingga seseorang akan kesulitan pula dalam mengendalikan kecemasan atau ketakutannya. Jika hal ini terjadi terus-menerus, ada potensi terjadinya gangguan kecemasan, termasuk Fobia Sosial. Kemudian, psikoanalisis juga ikut berperan dalam menjelaskan terjadinya gangguan ini. Menurut teori psikoanalisis, seseorang memiliki impuls atau hasrat yang dipendam di dalam dirinya. Seseorang melakukan hal tersebut karena hasrat tersebut tidak sesuai dengan kondisi atau nilai sosial dan dikategorikan sebagai hasrat atau impuls negatif. Kemudian impuls negatif tersebut ditekan hingga ke alam bawah sadar. Dalam psikoanalisis, penekanan ini sebagai salah satu mekanisme bertahan seseorang dalam rangka tidak menunjukkan perilaku yang tidak diharapkan oleh sosial dan budaya. Jika mekanisme tersebut dilakukan secara maladaptif, individu tersebut akan mengalami distress dan pada akhirnya mengalami gangguan kecemasan. 

    Perspektif berikutnya yang menjelaskan penyebab gangguan ini adalah teori kognitif-perilaku. Singkatnya, seseorang memiliki pengalaman yang menakutkan dengan suatu objek dan berasosiasi dengan stimulus tertentu. Misalnya dalam Fobia Sosial, seseorang mungkin saja pernah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan ketika ia berinteraksi dengan orang lain, seperti dipermalukan, dianggap bodoh, atau diberi penilaian lain yang bernada negatif. Oleh karena itu, seseorang yang sebelumnya dapat melakukan interaksi atau relasi sosial yang wajar pada akhirnya menjadi takut atau cemas ketika bertemu orang lain karena teringat dan ter-setting pikirannya bahwa melakukan relasi sosial dapat berdampak negatif bagi dirinya. Selain karena adanya pengalaman, seseorang juga dapat dengan sendirinya memiliki asumsi bahwa lingkungan sosial berpotensi mengancam dirinya. Kemudian, Fobia Sosial juga dapat dipengaruhi oleh sosialisasi dari keluarga. Orang tua sangat berperan penting dalam hal ini. Misalnya, dalam terjadinya Fobia Sosial, orang tua yang mengajarkan bahwa berelasi dengan orang lain perlu berhati-hati untuk menjaga perasaan orang lain tersebut dan tidak menimbulkan persepsi yang buruk dari orang lain. Jika anak menanamkan pemahaman tersebut secara berlebihan, akan terjadi perilaku yang maladaptif seperti Fobia Sosial karena adanya ancaman mengenai persepsi dari orang lain yang diajarkan orang tuanya. Biasanya, hal tersebut terjadi pada budaya kolektivistik.

Fobia Sosial Berbeda dengan Pemalu dan Agoraphobia

    Meskipun terlihat serupa, sebenarnya terdapat perbedaan yang mencolok antara ketiga hal tersebut. Fobia Sosial pada dasarnya merupakan ketakutan seseorang terhadap penilaian dari orang lain. Sementara itu, seseorang yang pemalu lebih kepada suka mengerjakan suatu hal sendirian dan kurang percaya diri, tetapi mereka tidak mengalami hambatan yang berarti dalam fungsi akademik dan interpersonal (saya kurang yakin apakah pemalu termasuk dalam gangguan psikologis atau bukan). Di sisi lain, Agoraphobia merupakan salah satu jenis fobia yang memungkinkan penderitanya mengalami rasa takut terhadap tempat-tempat ramai atau penuh sesak. Fungsi interpersonal dan relasi sosial mereka tidak bermasalah. Dari situ, dapat kita runtut bahwa perbedaan dasarnya adalah:

Fobia Sosial: Takut terhadap penilaian orang lain (berpengaruh pada interaksi sosial)

Pemalu: Penyendiri dan kurang percaya diri

Agoraphobia: Takut terhadap tempat ramai

Penanganan Fobia

    Pada umumnya, fobia berakar pada kognitif dan mindset seseorang terhadap objek tertentu. Oleh karena itu, penanganan yang biasanya dilakukan adalah Cognitive Behaviour Therapy (CBT) untuk membantu mengubah pola kognitif penderita supaya tidak mengarah ke arah yang maladaptif. Selain itu, cara lain yang cukup terkenal adalah systematic desensitization yang terdapat tiga langkah, yakni hierarki rasa takut/kecemasan, pelatihan relaksasi, dan exposure therapy (dapat secara virtual) (Gazzaniga, 2016). Tujuan utamanya adalah untuk meredam kecemasan atas objek terkait sehingga penderitanya tidak akan merasakan ketakutan lagi terhadap objek tersebut. Selain terapi psikis, dapat pula dilakukan terapi farmakologis menggunakan obta-obatan untuk meredam rasa cemas yang muncul. Namun, efek dari obat-obatan hanya berdampak dalam jangka pendek. Selain itu, obat-obatn juga berpotensi menimbulkan efek samping. Namun, metode campuran menggunakan terapi psikis dan obat-obatan dapat lebih efektif. Selain itu, tambahan dukungan sosial dari keluarga dapat membuat proses penyembuhan lebih efektif lagi dan potensi untuk kambuhnya dapat lebih kecil (Gazzaniga, 2016).

Gambar diambil dari verywellmind.com

Stigma Umum Dari Masyarakat

Pada masyarakat kolektivis seperti Indonesia yang mengutamakan relasi sosial, tentunya Fobia Sosial menjadi salah satu hambatan. Penderita gangguan ini tentu tidak dapat melakukan suatu hal yang sudah menjadi pedoman dan nilai dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Menurut pengamatan dari penulis, stigma yang biasanya dilontarkan terhadap penderita gangguan ini dan sejenisnya adalah sombong. Padahal, mungkin dalam hati terdalam mereka ingin sekali melakukan interaksi sosial sebagaimana wajarnya orang lain. Namun, ketakutan dan rasa cemas yang mereka alami tidak dapat mereka kendalikan. Rasa takut dan cemas mereka lebih menguasai mereka ketimbang rasa ingin berinteraksi sosial. Kognitif mereka sudah ter-setting seperti itu. Maka, yang seharusnya dilakukan adalah bukan melabeli mereka sebagai seorang yang sombong, tetapi membantu mereka untuk menguasai dan menghilangkan rasa cemas dan takut dalam diri mereka. Dengan itu, mereka dapat melakukan interaksi sosial secara wajar sebagaimana yang diharapkan oleh budaya kita. 

Referensi

Gazzaniga, M., & Halpern, D. (2016). Psychological Science (Fifth ed.). W. W. Norton & Company.

Kendall, P.C., Hammen, Constance. (1998). Abnormal Psychology: Understanding Human Problems. Houghton Mifflin Company.

Safaria, T. (2021). Psikologi Abnormal: Dasar-Dasar, Teori, dan Aplikasinya. UAD Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menilik Stereotip pada K-popers dan Penyuka Jejepangan: Bagaimana Bisa Terjadi?

Tulisan untuk Membela Para Introvert

Manusia Semakin Bodoh: Pengaruh AI?