Memandang Fenomena Kesurupan: Spiritual vs Sains
Teman-teman tentu tidak asing dengan istilah kesurupan atau kerasukan. Fenomena ini telah banyak didokumentasikan, bahkan dijadikan film. Seperti diketahui, banyak film yang mengangkat tema pengusiran setan/iblis yang tentu terdapat unsur kesurupan. Tema kesurupan juga marak digunakan dalam konten Youtube oleh para konten kreator dari atmosfer serius hingga dicampur adukkan dengan komedi. Saya yakin di sini juga mungkin teman-teman pembaca mempunyai cerita dari diri sendiri maupun orang lain terkait kesurupan, entah itu di sekolah atau di manapun. Banyak yang percaya bahwa hal tersebut memang benar-benar disebabkan oleh masuknya roh jahat ke dalam tubuh manusia. Sebab, memang terlihat juga bahwa seseorang yang kesurupan tersebut terkadang dapat melakukan suatu hal yang biasanya ia tidak dapat lakukan ketika dalam keadaan normal, misalnya tiba-tiba berbicara bahasa asing yang entah bahasa apa itu. Namun, tidak sedikit juga orang yang memandang bahwa hal tersebut hanyalah rekayasa atau ada penjelasan ilmiahnya mengapa ia seperti itu, bukannya disebabkan oleh ulah roh jahat. Dari perdebatan itu, penulis tertarik untuk meninjau fenomena kesurupan dari dua sisi, yakni spiritualitas dan sains, terkhusus di Indonesia. Pembahasan ini dibuat semata-mata untuk menjelaskan kesurupan dari dua sisi tersebut, bukannya mengglorifikasi salah satu perspektif.
Masyarakat Metafisika
Seperti diketahui, dalam perspektif ilmu sosiologi mayoritas masyarakat di Indonesia masih dalam tahap masyarakat metafisika. Masyarakat metafisika adalah ketika kebanyakan orang di dalam masyarakat tersebut masih mempercayai hal-hal gaib, misalnya roh, jin, dan sebagainya. Hal ini tidak dapat dimungkiri mungkin saja karena dahulu kala nenek moyang di Indonesia memiliki aliran animisme dan dinamisme. Nilai budaya dan spiritualitas masih kental dalam masyarakat tahap ini. Misalnya di Indonesia, masih banyak orang yang mempercayai takhayul atau pun kisah mistis seperti Nyi Roro Kidul, Nyi Puspo Cempoko, Nyi Blorong, dan sebagainya. Praktek-praktek yang berkaitan dengan nilai-nilai tersebut masih marak, misalnya pesugihan, perdukunan, dan paranormal. Terdapat beberapa rumor bahwa rumah makan di kota-kota besar masih terdapat praktek pesugihan. Selain itu, praktek perdukunan juga populer di Indonesia. Tidak sedikit juga orang yang lebih memilih pengobatan dari dukun ketimbang medis dan mereka mengaku lebih efektif menggunakan jasa dukun. Hal tersebut dapat terjadi karena pikiran kita yang tersetting untuk percaya terhadap hal tersebut membuat efek plasebo sehingga akhirnya seseorang tersugesti bahwa ia dapat sembuh dengan pengobatan tersebut. Hal ini penting bahkan dunia psikologi dan medis pun penulis rasa memerlukan hal tersebut. Selain itu, praktek paranormal juga sering terlihat. Hal ini bahkan menjadi salah satu industri yang menjanjikan dalam dunia konten kreator. Selain itu, hal yan paling mencolok dan menunjukkan bahwa Indonesia masih dalam tahap masyarakat metafisika adalah adanya praktek pawang hujan di acara internasional, yakni MotoGP Mandalika 2022. Pentas seni di sekolah atau universitas pun tidak asing dengan pawang hujan. Hal ini menurut penulis sendiri tidak menjadi masalah karena itu merupakan kepercayaan dan tidak merugikan orang lain.
Kesurupan dalam Agama dan Budaya
Kesurupan dalam hal ini sebenarnya secara definisi kental dengan spiritualitas, yakni keadaan ketika seseorang dirasuki oleh zat atau makhluk gaib. Dalam sudut pandang spiritualitas, seseorang dapat mengalami kesurupan ketika jiwa seseorang tersebut hampa. Ketika jiwa seseorang tersebut dalam keadaan hampa, ia akan mudah dirasuki oleh makhluk gaib yang ingin mengontrol dirinya. Jiwa yang hampa tersebut terjadi karena tidak ada pelindung. Pelindung tersebut termanifestasi dari keimanan yang kuat sehingga dapat mengisi jiwa yang hampa dan terhindar dari kesurupan (Muhtar, 2014). Sazali (2016) juga berpendapat bahwa seseorang yang mengalami kesurupan disebabkan oleh rendahnya pemahaman agama dan pengabaian terhadap nilai-nilai spiritual. Misalnya, tidak sedikit fenomena gaib cenderung kesurupan ketika ada seseorang yang tidak menaati nilai adat atau spiritualitas di suatu daerah, salah satunya sering terjadi di Bali. Terdapat juga beberapa peneliti yang berpendapat bahwa kesurupan merupakan penyakit rohani, salah satunya dari Afiyatin (2020). Afiyatin (2020) juga berpendapat bahwa penyakit rohani ini perlu dibedakan dari penyakit mental. Penyakit mental lebih kepada gangguan jiwa yang berkaitan dengan biologis, utamanya sistem saraf (Zaini, 1990; Afiyatin, 2020).
![]() |
Gambar diambil dari Wikipedia |
Kebanyakan agama dan kepercayaan memegang prinsip bahwa kesurupan merupakan fenomena yang berbahaya (Oesterreich & Ibberson, 1999). Maka dari itu, dapat banyak ditemukan berbagai ritual untuk mengusir roh yang membuat seseorang kesurupan dalam berbagai agama, seperti pada Katholik Roma, Ruqyah dalam Islam, dan kemudian praktek Shamanism atau Exorcism di berbagai negara, utamanya di negara dengan masyarakat metafisika seperti Afrika, sebagian Asia, dan lebih spesifiknya di Indonesia. Di Indonesia, banyak kebudayaan yang kental dengan fenomena kesurupan, misalnya Kuda Lumping. Dalam Kuda Lumping, roh atau makhluk halus yang masuk ke tubuh seseorang menjadi suatu energi yang bergabung dengan kekuatan manusia. Kemudian, gabungan kekuatan tersebut menciptakan suasana yang tidak terkendali dan menambah kesaktian seseorang yang kesurupan tersebut. Hal tersebutlah yang justru menjadi nilai seni dan budaya (Springate, 2009). Selain Kuda Lumping, terdapat pula beberapa kebudayaan di Indonesia yang terdapat unsur kesurupan di dalamnya, seperti Tari Sintren, Seblang, Bantengan, dan Kebo-Keboan. Secara umum, konsepnya hampir serupa, yakni energi dari roh menjadi energi tersendiri yang membangkitkan kemampuan sang penari dan menjadi inti seni dalam kebudayaan tersebut.
Perspektif lain terkait fenomena kesurupan adalah perspektif sains atau ilmiah. Terdapat ilmuwan yang berpendapat bahwa fenomena kesurupan dapat terjadi karena terdapat kekurangan vitamin dan/atau abnormalitas pada tingkat horman (Springate, 2009). Selain itu, fenomena kesurupan juga dapat ditinjau dalam ilmu psikologi. Dalam ilmu psikologi, fenomena kesurupan dapat diklasifikasikan dalam Gangguan Trans dan Kesurupan. Gangguan ini termasuk dalam klasifikasi Gangguan Disosiatif. Seseorang dengan Gangguan Disosiatif pada umumnya akan mengalami sensasi seperti terpisah dengan tubuhnya dan kehilangan kontrol atas tubuhnya. Gangguan ini dapat disebabkan oleh tekanan psikis yang berat, kelelahan, dan peristiwa yang sangat menakutkan. Gangguan Disosiatif tercantum pada kategori F44 dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-III) yang mengacu juga pada International Classification of Diseases (ICD-10). Secara khusus, Gangguan Trans dan Kesurupan tercantum pada kategori F44.3. Seseorang dengan gangguan ini akan mengalami kehilangan kesadaran atas apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya dan kehilangan atas kesadaran terhadap identitas dirinya secara sementara. Selain itu, seseorang yang mengalami gangguan ini juga terkadang seolah-olah menunjukkan identitas atau kepribadian baru serta "kekuatan gaib" yang menggantikan identitas aslinya saat peristiwa trans dan kesurupan terjadi. Perlu digarisbahawi di sini bahwa adanya "kekuatan gaib" tersebut hanya seolah-olah dan bukan seperti perspektif spiritualitas yang menjustifikasi bahwa memang terdapat kekuatan gaib yang masuk ke dalam seseorang. Sebab, ilmu psikologi secara khusus tidak mempelajari sesuatu hal yang berkaitan dengan gaib. Biarlah ranah ilmu lain yang membahas hal tersebut, salah satunya spiritualitas. Namun, bukan berarti kedua hal tersebut tidak dapat diintegrasikan. PPDGJ-III juga menyebutkan bahwa perlu pemisahan antara fenomena trans dan kesurupan yang merupakan patologis (penyakit/gangguan) dengan fenomena kesurupan yang merupakan unsur budaya dan spiritualitas. Artinya, kesurupan yang terdapat pada tradisi kebudayaan dan spiritualitas bukanlah merupakan gangguan jiwa yang dimaksud sebagaimana disebutkan dalam F44.3. Hal tersebut ditentukan dari apakah fenomena kesurupan tersebut memang dikehendaki untuk terjadi atau terjadi secara tidak disengaja. Jika terjadi secara senagaja, fenomena kesurupan bukan merupakan gangguan/penyakit, sedangkan fenomenna kesurupan yang terjadi secara tidak disengaja/bukan atas kehendak sendiri digolongkan sebagai gangguan/penyakit. Adapun untuk kesurupan massal hal tersebut disinyalir terjadi karena adanya fenomea histeria massal yang merupakan fenomena sosial. Sederhananya, hal tersebut terjadi ketika banyak orang dalam suatu kelompok atau massa merasakan hal yang sama tanpa adanya penjelasan biologis yang jelas. Manifestasinya adalah terdapat gejala kejang-kejang dan histeris pada orang yang mengalaminya.
Penanganan untuk Gangguan Disosiatif secara umum lebih mengarah kepada psikoterapi. Perlu adanya hubungan baik dan kepercayaan antara klien dengan terapis. Psikoterapi ini biasanya dilakukan dalam jangka panjang untuk menghilangkan stressor, biasanya trauma, yang menyebabkan terjadinya Gangguan Disosiatif dengan melatih strategi koping. Efek dari psikoterapi memang pada beberapa gangguan lebih bertahan lama dibandingkan efek dari penggunaan obat. Namun, Penanganan secara khusus untuk Gangguan Trans dan Kesurupan masih sangat sedikit temuannya, meskipun kasus yang terjadi tidak sedikit. Justru di sinilah yang menjadi ruang untuk terjadinya kolaborasi antara ilmu spiritual dengan sains. Penerapan indigenous dapat terjadi di sini, yakni bagaimana seseorang mempelajari sesuatu dengan menggunakan perspektif dari komunitas yang dipelajari tersebut (dalam hal ini biasanya berkaitan budaya dan kepercayaan). Tenaga professional perlu menggunakan perspektif indigenous untuk dapat meyakinkan bahwa spiritual dan ilmiah dapat berkolaborasi dalam penyembuhan gangguan mental/jiwa. Hal ini dapat diterapkan di segala setting bahwa kita perlu untuk mengerti dan paham perspektif orang lain jika kita ingin mendekati atau berkolaborasi dengan pihak lain. Jika kita tidak dapat memahami perspektif orang lain, kita tidak akan menemukan satu titik frekuensi yang sama tersebut yang menjadi modal utama dalam memahami dan berkolaborasi dengan orang lain. Kolaborasi tersebut tentu dapat menjadi jalan bagi tenaga professional utamanya untuk dapat masuk dan mengintervensi klien lebih dalam lagi. Analoginya seperti obat yang berbentuk cair dan memiliki rasa tertentu yang disukai oleh anak kecil. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa seseorang akan lebih mudah pulih ketika ia percaya dengan penanganan tersebut.
Konklusi
Dari pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa terdapat perspektif spiritualitas atau budaya dan sains memiliki pendekatan yang berbeda. Kesurupan juga sudah menjadi salah satu unsur seni dalam kebudayaan tertentu. Dapat dilihat bahwa perbedaan utama dari kedua perspektif ini adalah apakah adanya unsur kesengajaan atau tidak dalam terjadinya fenomena kesurupan dan internalisasi nilai yang kemudian berdampak pada cara penanganannya. Perbedaan yang dalam perspektif yang ada diharapkan dapat menjadi ruang untuk saling berintegrasi dan berkolaborasi.
Referensi
Afiyatin, A. L. (2020). Ruqyah sebagai pengobatan berbasis spiritual untuk mengatasi kesurupan. Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling Dan Dakwah Islam,
16(2), 216–226. https://doi.org/10.14421/hisbah.2019.162-09
Departemen Kesehatan RI. (1995). Pedoman Pengelolaan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa : S- PPDGJ III : . Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Muhtar. (2014). Pendekatan spiritual dalam rehabilitasi sosial korban penyalagunaan Narkoba di Pesantren Inabah Surabaya. Jurnal Informasi, 19(3),
250–260.
Oesterreich, T. K. & Ibberson, D. (1999) Possession: Demoniacal
and other. Kegan Paul, Trench, Trubner
Sazali. (2016). Signifikansi ibadah sholat dalam pembentukan kesehatan jasmani dan rohani. Jurnal Ilmu Dan Budaya, 40(5), 5889–5905.
Springate, L. A. C. (2009). Kuda Lumping dan fenomena kesurupan
Mmssal: Dua studi kasus tentang kesurupan dalam kebudayaan Jawa. Malang:
Universitas Muhamadiyah Malang.
Zaini, S. (1990). Ihya ulumuddin, Terjemahan Ismail Yakub dalam buku
Penyakit rohani dan pengobatannya. Surabaya: Al-Ihlas.
Komentar
Posting Komentar