Debat Capres-Cawapres Tidak Berguna: Kajian Perspektif Psikologi Sosial dalam Politik

    Pada tahun-tahun pemilu seperti sekarang ini, mulai bermunculan kandidat atau bakal calon. Bakal calon tersebut jarang yang muncul dari kalangan independen. Biasanya, mereka mempunyai "kendaraan" yang disebut partai politik. Tidak jarang, para partai politik tersebut sedikit-banyak berperan dalam bagaimana bakal calon berperilaku. Selain itu, partai politik juga dapat menjadi salah satu indikator bagi masyarakat untuk memilih caleg maupun capres. Tidak dapat dimungkiri memang terdapat beberapa partai politik memiliki sentimen tersendiri di mata masyarakat. Selain partai politik, latar belakang lain seperti agama, ras, etnis, suku, dan sebagainya juga menjadi pertimbangan bagi masyarakat. Hal inilah yang sering dimanfaatkan oleh tim kampanye dari calon untuk mendulang suara. Praktik semacam ini umum disebut politik identitas. Bahkan, hal ini sebenarnya bukan hal yang baru. Misalnya, kita ketahui pilkada DKI Jakarta pada tahun 2018 yang sangat kental dengan politik identitas dan kemudian berlanjut ke pilpres 2019. Hal ini membuat sebagian orang cenderung tidak melihat gagasan yang dibawa oleh para calon dan hanya melihat latar belakang. Jika pun para pemilih tersebut menggunakan dalih gagasan tertentu dari salah satu calon dalam memilih, mereka cenderung kurang mendalami gagasan dari calon dan hanya mengambil gagasan yang memang umum serta populer. Hal tersebutlah yang membawa penulis kepada judul artikel "Debat Capres-Cawapres Tidak Berguna" karena sebagian (saya pikir juga sebagian besar) masyarakat memilih berdasarkan identitas, bukan gagasan. Ini tentu menjadi sebuah degradasi, yang ditakutkan bukanlah degradasi kepemimpinan, tetapi degradasi dari sisi pemilih dalam memilih pemimpin yang tepat. Pada pembahasan ini, teori utama yang digunakan adalah teori sikap. Sikap yang telah dipegang teguh oleh seseorang akan sulit untuk diubah termasuk dalam konteks pemilihan caleg atau capres. Namun, terdapat beberapa atribut lain juga yang membentuk dan menyertai sikap.

Gambar diambil dari laman VOA Indonesia

 
Sikap dalam Proses Memilih
    Sikap (attitude) dalam konteks ini merupakan pendirian atau prinsip individu dalam memandang suatu hal. Sikap tersebut dihasilkan dari evaluasi dan analisis individu terhadap suatu hal tersebut. Misalnya pada kasus korupsi, seseorang tahu bahwa korupsi merugikan, menyengsarakan, dan merupakan perbuatan menipu. Oleh karena itu, seseorang tersebut memiliki sikap menentang terhadap tindakan korupsi. Sikap seseorang terhadap suatu hal juga dipengaruhi nilai, norma, dan budaya yang dianut. Misalnya pada LGBT-Q, kebanyakan orang di Indonesia akan menentangnya, tetapi berbeda dengan di negara-negara barat yang justru mendukungnya. Jenis sikap yang seperti ini dapat digolongkan sebagai sikap dalam garis luru linear atau dua kutub, Jadi, hanya terdapat dua sikap, yakni antara suka-tidak suka, mendukung-menentang, dan sebagainya. Di sisi lain, terdapat model lain mengenai sikap, yakni sikap memiliki tiga komponen terpisah: afektif, kognitif, dan perilaku. Komponen afektif berkaitan dengan perasaan seseorang terhadap suatu hal secara afeksi atau emosi. Misalnya, seseorang memiliki rasa cinta terhadap pasangannya maka ia akan memiliki sikap komitmen terhadap pasangannya. Kemudian, komponen kognitif berkaitan dengan bagaimana seseorang memiliki anggapan, persepsi, atau pengetahuan terhadap suatu hal. Misalnya, seseorang mengetahui bahwa ujaran kebencian merupakan hal yang tercela maka ia akan memiliki sikap menentang terhadap ujaran kebencian tersebut. Di sisi lain, komponen perilaku merupakan tindakan nyata yang terlihat dari seseorang dan merepresentasikan sikapnya. Misalnya, seseorang mencoblos partai A karena ia memiliki sikap mendukung terhadap partai A. Namun, pada situasi tertenu, perilaku yang tampak tidak mesti mencerminkan sikap yang dipunyai, misalnya karena situasi terpaksa, tertekan, dan lain-lain. Ketiga komponen ini dapat berjalan beriringan secara utuh atau dapat pula berjalan sendiri-sendiri.
    Pada konteks debat capres-cawapres, sikap banyak berperan. Pilihan masyarakat terhadap pasangan calon tidak akan banyak berubah karena memang dari awal masyarakat sudah menentukan sikap akan mendukung pasangan calon tertentu. Sikap ini tentu banyak ditentukan dari bagaimana masyarakat melihat pula apakah kriteria dan latar belakang pasangan calon sesuai dengan sikap yang dimiliki. Misalnya ketika pemilu 2014, Jokowi banyak dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Masyarakat yang memiliki sikap anti-PKI tentu saja akan enggan untuk memilih Jokowi sehingga mereka akan memilih Prabowo. Begitu pun sebaliknya, masyarakat yang memiliki sentimen negatif terhadap keluarga cendana dan peristiwa penculikan tahun '98 tentu tidak akan memilih Prabowo. Contoh tersebut merupakan contoh kecil bagaimana sikap yang dimiliki seseorang menempati porsi besar dalam proses memilih calon pemimpin bangsa. Hal tersebut pun menunjukkan bahwa gagasan yang dibawa oleh pasangan calon tidak banyak memengaruhi proses memilih. Gagasan yang dibawa oleh pasangan calon terkadang hanya menjadi validasi dan pebenaran bagi para calon pemilih bahwa pilihan mereka sudah tepat.

Gambar diambil dari laman BBC


Pemanfaatan Identitas Sosial dalam Politik Identitas
    Setiap individu yang berada dalam lingkungan sosial akan memiliki identitas sosialnya masing-masing. Identitas sosial dapat diartikan sebagai pengenal bagi orang lain terhadap seseorang dalam suatu lingkungan sosial. Identitas sosial biasanya didapatkan dari mana ia berasal, misalnya suku, etnis, agama, dan negara. Selain itu, identitas sosial juga dapat berupa jenis kelamin, pekerjaan, dan status sosial yang dimiliki (Aronson dkk., 2019). Tentunya, identitas sosial yang dimiliki seseorang akan berimbas pada bagaimana orang lain memandang dirinya. Masyarakat dapat memiliki sentimen tersendiri terhadap orang lain jika orang lain tersebut memiliki identitas sosial yang berseberangan dengannya. Hal tersebut dijelaskan dalam teori in-group favouritism dan out-group derogation, yakni ketika suatu kelompok akan cenderung menyukai seseorang yang memiliki identitas sosial yang sama (in-group) dan cenderung menjauhi atau ekstremnya memusuhi seseorang yang memiliki identitas sosial berbeda (Aronson dkk., 2019).
    Hal tersebut juga berlaku kepada para bakal calon yang bertarung di pemilu. Identitas sosial yang mereka miliki dapat dimanfaatkan sebagai pendulang suara. Oleh karena itu, tidak jarang kita melihat terdapat calon yang sengaja untuk mendekati tokoh agama tertentu untuk membentuk identitas sosial dan akhirnya akan mendapat simpati dari golongan yang dimaksudkan. Misalnya, apa yang dilakukan oleh Jokowi saat pemilu 2019 ketika beliau didampingi oleh Ma'ruf Amin sebagai cawapres. Ketika itu, Ma'ruf Amin baru saja menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia. Mundur lebih belakang lagi, pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, paslon Anies-Sandi mendekati tokoh besar Front Pembela Islam, Habib Rizieq, sampai-sampai bisa mengalahkan Ahok-Djarot yang kala itu lebih tinggi elektabilitasnya. Terlebih lagi, saat itu, Ahok dituduh melakukan penistaan kepada Agama Islam dan akhrinya terjadi aksi 212. Hal tersebut juga dapat berdampak pada proses memilih bakal calon ketika para calon pemilih lebih mengedepankan faktor identitas sosial dari para bakal calon legislatif maupun eksekutif. Kemudian, lagi dan lagi, gagasan yang diberikan saat kampanye dan debat akan sia-sia karena para pemilih lebih menghiraukan faktor lain dibandingkan gagasan.

Persuasi yang Bukan Didasarkan pada Konten 
    Pada masa kampanye, tentunya masing-masing calon melakukan berbagai strategi  dalam mempersuasi para calon pemilih untuk memilih para calon. Hal yang dilakukan tersebut seperti memasang banner di setiap sudut kota, mempromosikan visi misi, melakukan orasi terbuka, dan lain-lain. Dalam strategi kampanye tersebut, terdapat dua jenis, yakni kampanye yang substantif dan kampanye yang menggunakan atribut sosial dari para calon. Kampanye yang bersifat substantif meliputi promosi visi misi, program kerja, orientasi, dan sebagainya yang muncul dari ide atau gagasan dari calon. Sedangkan, kampanye yang menggunakan atribut sosial adalah kampanye yang menekankan pada sifat, karakter, atau identitas yang dimiliki oleh calon. Misalnya pada pemilu 2014 dan 2019, Prabowo dikaitkan sebagai seseorang yang berkarisma, tegas, dan ksatria. Di sisi lain, Jokowi dikenal sebagai seseorang yang merakyat, gemar blusukan, dan sederhana. Beberapa hal tersebut hanya contoh dari berbagai atribut sosial dan citra yang dibangun oleh masing-masing capres dan tim kampanye. Tanpa disadari, hal tersebut dapat memengaruhi bagaimana para calon pemilih menerima dan memercayai pesan yang disampaikan para calon. 
        Hal ini disebut sebagai penyampaian pesan melalui peripheral route, yakni pesan yang diterima bukan karena kontennya, melainkan karena fakor lain di luar konten atau isi pesan. Faktor lain tersebut dapat berupa identitas, latar belakang, karisma, karakter, stereotip, dan faktor lain yang melekat pada diri bakal calon. Misalnya, kita dapat melihat hal ini pada sosok Soekarno yang memiliki karisma ketika Beliau berpidato sehingga rakyat menjadi percaya pada pesan yang disampaikan dan membangkitkan semangat. Namun, hal ini pula yang dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menciptakan hoaks dan kampanye hitam kepada lawannya. Hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan tokoh besar (biasanya tokoh agama) yang disegani oleh banyak orang untuk menyebar kebencian dan mempromosikan kabar bohong sehingga para pengikutnya percaya dan membenci lawan politik dari bakal calon yang bersangkutan. Kenapa para pengikut tersebut percaya? Hal tersebut dikarenakan para pengikut tersebut sudah memiliki sentimen positif terhadap tokoh tersebut sehingga memengaruhi penerimaan pesan. Kembali lagi pada konteks debat, hal tersebut membuat pesan atau gagasan yang disampaikan saat debat capres hanya akan diterima oleh pendukung masing-masing yang sudah menetapkan pilihannya sejak awal karena pengaruh atribut atau faktor sosial tadi. Para pendukung hanya akan memercayai calon yang mereka sukai. Maka, mau sampai berbusa-busa pun calon yang lain dalam mengutarakan gagasannya, hal tersebut tidak akan berguna.

Gambar diambil laman Kumparan



Penelitian Mengenai Debat Capres-Cawapres
    Penelitian bertemakan kontestasi politik terutama politik dalam perspektif psikologi sudah cukup banyak dilakukan. Terlebih lagi, penelitian psikologi yang dibantu oleh big data sedang gencar dan "seksi" pada masa kini. Namun, penelitian bertemakan debat capres secara spesifik belum banyak dilakukan, terutama dari perspektif psikologi. Terdapat penelitian bertemakan debat capres-cawapres dari Bayu pada tahun 2020. Dalam penelitian tersebut, ditemukan bahwa ternyata tidak banyak orang yang menonton debat hingga selesai. Hanya sebanyak lima persen dari total sampel yang menonton debat hingga selesai. Kemudian, asumsi pun muncul, apakah itu berarti pesan yang disampaikan saat debat benar-benar hanya ditangkap oleh lima persen terbebut? Pesan tersebut pun belum tentu diterima. Kemudian, terdapat penelitian lain dari Hasfi dkk. (2017) bahwa pada kontestasi pemilu, tentu salah satunya dalam platform debat, diskusi secara rasional tidak lebih penting ketimbang pengembangan citra. Sejalan pula dengan penelitian dari Kurniawati dkk. (2022) yang menggunakan perspektif linguistik melalui analisis wacana bahwa terdapat unsur pembangunan citra positif dalam narasi para calon. Gaya bahasa yang digunakan pun menggunakan beberapa gaya, di antaranya hiperbola, metafora, personifikasi, dan repetisi (Kurniawati dkk., 2022). Hal ini juga merupakan cerminan dari peripheral route yang dijelaskan pada bagian sebelumnya.

Konklusi
    Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa banyak faktor bagi para calon pemilih ketika memutuskan untuk memilih capres-cawapres, yakni sikap yang dimiliki, identitas sosial, dan proses penerimaan pesan. Akhirnya, pelaksanaan debat capres-cawapres hanya menjadi ajang validasi siapa yang lebih benar oleh masing-masing pendukung dan ajang pencitraan, bukannya menjadi ranah diskusi secara kritis dan rasional. Namun, tentu saja saya yakin masih ada segelintir orang yang melihat pada gagasan yang dibawa oleh para calon, walaupun jumlahnya sangat sedikit. Maka, sejak pemilu sebelumnya, para pengamat cukup berharap kepada pemilih yang merupakan Gen Z untuk dapat memilih secara rasional karena Gen z dinilai sebagai generasi yang melek teknologi dan berpikir secara terbuka. Oleh karena itu, marilah kita sebagai calon pemilih untuk dapat menggunakan hak suara kita sebaik mungkin dengan pertimbangan secara rasional, strategis, dan kritis. Jangan sampai kita menjadi penyumbang terjadinya degradasi dalam proses pemilihan.



Referensi
Aronson, E., Wilson, T. D., & Sommers, S. (2019). Social Psychology (10th ed.). New York: Pearson.
Bayu, C. (2020). Pengaruh debat calon presiden/wakil presiden terhadap preferensi pemilih pemula pada Pilpres 2019 . Translitera : Jurnal Kajian Komunikasi Dan Studi Media9(1), 9-21. https://doi.org/10.35457/translitera.v9i1.905

Kurniawati, W., Ekoyanantiasih, R., Yulianti, S., Hardaniawati, M., Sasangka, S. W., & Firdaus, W. (2022). Kekuasaan Semantik dalam Analisis Wacana Kritis Debat Capres-Cawapres. Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 11(1), 165-179. https://doi.org/10.26499/rnh.v11i1.4966

Hasfi, N., Usman, S., & Santosa, H. P. (2017). Representasi Kepemimpinan Calon Presiden di Twitter. Jurnal ASPIKOM3(2), 270–284. http://www.jurnalaspikom.org/index.php/aspikom/article/view/133/118


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menilik Stereotip pada K-popers dan Penyuka Jejepangan: Bagaimana Bisa Terjadi?

Tulisan untuk Membela Para Introvert

Manusia Semakin Bodoh: Pengaruh AI?